Saturday, November 30, 2013 0 komentar

Tambah Jalan = Tambah Kemacetan ???

Braess Paradox – Konsep tersebut memang jarang sekali mencuat ke permukaan. Namun, pada kenyataannya hal ini memang benar-benar terjadi di beberapa lokasi di dunia.

Braess Paradox adalah fenomena dimana meningkatkan kapasitas jalan justru malah memacu pertumbuhan dan volume lalu lintas (generated traffic & induced trips). Bangkitan lalu-lintas baru akibat peningkatan kapasitas jalan seringkali membawa dampak negatif yg lebih besar dibanding manfaat awal dari peningkatan kapasitas jalan itu sendiri, yaitu utk memperlancar lalu-lintas. Kemacetan baru yg lebih parah, pemborosan BBM, biaya parkir, kesemrawutan, polusi, kecelakaan, naiknya biaya kesehatan, budaya saling sikut, merupakan dampak negatif yg dirasakan Jakarta sekarang.

Pertambahan ruas jalan dan panjang jalan tidak mungkin dapat mengimbangi kecepatan penambahan mobil di kota. Semakin enak dan nyaman jalannya, semakin banyak orang yang membeli mobil. Pada suatu waktu, macet kembali akan terjadi. Selain itu setiap jalan tol pasti ada pintu keluarnya. Kemacetan akan terjadi di pintu keluar dan di jalan umum setelah pintu keluar karena kapasitas jalan selain jalan tol baru tersebut tetap sama, sementara jumlah mobil telah bertambah. Jalan tol 6 ruas akan membuat nyaman pengguna tol, dan untuk beberapa saat mungkin akan menjadi solusi kemacetan. Namun setelah beberapa saat, kemacetan akan kembali terjadi. Dan kita akan membangun jalan tol baru lagi, begitulah siklus ini terus berulang. Proyek demi proyek terus diadakan. Operator jalan tol untung besar, PU makin banyak proyeknya, distributor mobil untung besar, dan warga Jakarta tetap merasakan kemacetan, dan tentunya polusi yang lebih parah lagi.
Yang semula hanya berpikir dari sisi penyiapan “hardware”, kini beralih menjadi berpikir “soft” bagaimana cara mengubah perilaku dan pilihan masyarakat dalam berkendara, lewat beragam kebijakan Stick and carrot yaitu memberi insentif kepada angkutan umum (carrots) dan disentif bagi angkutan pribadi (stick).
Meningkatkan kapasitas jalan perkotaan seperti di Jakarta sebenarnya tidaklah haram. Boleh, asalkan itu dalam rangka mendukung upaya manajemen permintaan lalu-lintas (Travel Demand Management), dan ini harus dijadikan upaya terakhir. Intinya adalah pembangunan bukanlah sebuah solusi yang benar-benar optimum atau “Solution optimum isn’t the Optimum Solution”.
Sumber : Vivre en Ville, inspired by Raad, 1993
Gambaran di atas merupakan “lingkaran setan” ketergantungan akan kendaraan pribadi. Kondisi perkembangan Jakarta yang bersifat menyebar ke segala arah (urban sprawl) sehingga kemudian memunculkan kota penyangga atau biasa disebut Jabodetabek menyebabkan kepadatan tata ruang yang rendah. Hal tersebut kemudian menyebabkan perjalanan yang lebih banyak akibat interaksi spasial yang ada. Peningkatan jumlah kepemilikan dan penggunaan kendaraan pribadi pun terjadi sehingga secara langsung akan menimbulkan kemacetan. Solusi yang diambil pemerintah yang kurang menyadari akan teori ini apalagi di negara berkembang adalah dengan terus membangun jalan demi meningkatkan supply akan perpindahan.
Implementasi Braess Paradox - Teori ini ternyata sudah disadari di beberapa negara dan kemudian membuat konsep “kontra” . Salah satu yang paling fenomenal ialah Presiden Korsel Lee Myung-bak. Berkat kesuksesannya membenahi Kota Seouwl semasa menjadi wali kota, dengan prestasinya yang paling masyhur ialah restorasi Sungai Cheonggyecheon di jantung Kota Seoul.
Pada akhir 1970, Sungai sepanjang 5,8 km yang mengalir di pusat Kota Seoul ini dijadikan lokasi pembangunan jalan layang persis di atas aliran sungai karena semakin padatnya populasi Seoul dan arus lalu lintas. Mudah ditebak, seiring dengan perkembangan kota, masalah lingkungan yang kumuh dengan lapak pedagang, polusi, dan kemacetan parah mendominasi area Cheonggyecheon.
Ketika terpilih menjadi Wali Kota Seoul pada 2002, Lee Myung-bak menjadikan proyek restorasi Cheonggyecheon menjadi program unggulannya. Misinya satu, yaitu merobohkan jalan layang 4 lajur sepanjang 6 km di atas badan sungai dan mengembalikan lahan hijau di daerah aliran sungai.
Proyek bombastis itu bukan tanpa halangan. Ketika diperkenalkan pertama kali, masyarakat memilih bersikap skeptis untuk dua hal: peluang kemacetan akibat berkurangnya kapasitas jalan dan peluang kerugian ekonomi terutama bagi pedagang. Namun, tangan dingin Lee Myung-bak berbuah manis. Masalah kemacetan diatasi dengan kebijakan sistem transportasi massal yang efisien. Pedagang difasilitasi dengan relokasi dan pendanaan. Selain itu, tidak kurang dari 4.000 pertemuan dengan masyarakat, program “tembok tanda tangan dukungan”, dan penyediaan informasi aktual yang terintegrasi via situs web menjadi kunci solusi dukungan masyarakat.
Dalam waktu 27 bulan, dari wilayah yang kusam, Cheonggyecheon bertransformasi menjadi lahan hijau 28 hektare yang dinikmati 10 juta warga Seoul. Efek samping positifnya juga tidak sedikit. Menurut data tahun 2010, berkat perobohan jalan layang, jumlah kendaraan yang beredar di Seoul menurun 2,3% sehingga penggunaan kendaraan umum meningkat (bus 1,4% dan kereta bawah tanah 4,3%).
Hal yang dilakukan beberapa negara seperti, Istanbul di Turki, Teheran di Iran yang paham akan konsep pemikiran ini sepertinya perlu untuk ditiru, mengurangi kapasitas jalan yang justru mengurangi jumlah perjalanan yang ada.
Pandangan Umum – Proyek pembangunan 6 ruas jalan tol yang bernilai lebih dari Rp. 40 triliun ini direncanakan berstruktur elevated dan menghubungkan daerah-daerah pusat kegiatan diharapkan pemerintah dapat memberi manfaat dalam operasionalnya yang direncanakan konstruksi selesai pada tahun 2020.
Alvinsyah, seorang pakar transportasi Universitas Indonesia menilai, kebijakan penyediaan sarana transportasi publik merupakan masalah prioritas. Artinya bila pemerintah terlebih dahulu membangun ruas jalan tol, pengguna kendaraan pribadi-lah yang diuntungkan.
Sedangkan menurut Ofyar Z Tamin, seorang pakar transportasi Institut Teknologi Bandung (ITB) pembangunan ruas tol dalam kota hanya menguntungkan operator jalan tol dan industri mobil. Seharusnya pemerintah memikirkan solusi transportasi massal yang baik dan menguntungkan bagi rakyatnya.
Berbagai pihak lain pun sangat menyesalkan kebijakan pembangunan ruas tol dalam kota ini. Namun, kebijakan transportasi yang bersifat multisektoral dianggap menjadi inti dari semua permasalahan ini. Ketidak sesuaian visi antar sektor yang menjadi penyebab munculnya produk kebijakan yang kurang efektif dan efisien.


Reference :
Baca SelengkapnyaTambah Jalan = Tambah Kemacetan ???
 
;