Braess Paradox –
Konsep tersebut memang jarang sekali mencuat ke permukaan. Namun, pada
kenyataannya hal ini memang benar-benar terjadi di beberapa lokasi di dunia.
Braess
Paradox adalah fenomena dimana meningkatkan kapasitas jalan justru malah memacu
pertumbuhan dan volume lalu lintas (generated
traffic & induced trips). Bangkitan lalu-lintas baru akibat peningkatan
kapasitas jalan seringkali membawa dampak negatif yg lebih besar dibanding
manfaat awal dari peningkatan kapasitas jalan itu sendiri, yaitu utk
memperlancar lalu-lintas. Kemacetan baru yg lebih parah, pemborosan BBM, biaya
parkir, kesemrawutan, polusi, kecelakaan, naiknya biaya kesehatan, budaya
saling sikut, merupakan dampak negatif yg dirasakan Jakarta sekarang.
Pertambahan ruas jalan dan panjang jalan tidak mungkin dapat
mengimbangi kecepatan penambahan mobil di kota. Semakin enak dan nyaman
jalannya, semakin banyak orang yang membeli mobil. Pada suatu waktu, macet
kembali akan terjadi. Selain itu setiap jalan tol pasti ada pintu keluarnya. Kemacetan
akan terjadi di pintu keluar dan di jalan umum setelah pintu keluar karena
kapasitas jalan selain jalan tol baru tersebut tetap sama, sementara jumlah
mobil telah bertambah. Jalan tol 6 ruas akan membuat nyaman pengguna tol, dan
untuk beberapa saat mungkin akan menjadi solusi kemacetan. Namun setelah
beberapa saat, kemacetan akan kembali terjadi. Dan kita akan membangun jalan
tol baru lagi, begitulah siklus ini terus berulang. Proyek demi proyek terus
diadakan. Operator jalan tol untung besar, PU makin banyak proyeknya,
distributor mobil untung besar, dan warga Jakarta tetap merasakan kemacetan,
dan tentunya polusi yang lebih parah lagi.
Yang semula hanya berpikir dari sisi penyiapan “hardware”,
kini beralih menjadi berpikir “soft” bagaimana cara mengubah perilaku
dan pilihan masyarakat dalam berkendara, lewat beragam kebijakan Stick and carrot yaitu memberi insentif
kepada angkutan umum (carrots) dan disentif bagi angkutan pribadi (stick).
Meningkatkan
kapasitas jalan perkotaan seperti di Jakarta sebenarnya tidaklah haram. Boleh,
asalkan itu dalam rangka mendukung upaya manajemen permintaan lalu-lintas (Travel Demand Management), dan ini
harus dijadikan upaya terakhir. Intinya adalah pembangunan bukanlah sebuah
solusi yang benar-benar optimum atau “Solution
optimum isn’t the Optimum Solution”.
Sumber : Vivre en Ville, inspired by Raad, 1993
Gambaran
di atas merupakan “lingkaran setan” ketergantungan akan kendaraan pribadi.
Kondisi perkembangan Jakarta yang bersifat menyebar ke segala arah (urban sprawl) sehingga kemudian
memunculkan kota penyangga atau biasa disebut Jabodetabek menyebabkan kepadatan
tata ruang yang rendah. Hal tersebut kemudian menyebabkan perjalanan yang lebih
banyak akibat interaksi spasial yang ada. Peningkatan jumlah kepemilikan dan
penggunaan kendaraan pribadi pun terjadi sehingga secara langsung akan
menimbulkan kemacetan. Solusi yang diambil pemerintah yang kurang menyadari
akan teori ini apalagi di negara berkembang adalah dengan terus membangun jalan
demi meningkatkan supply akan
perpindahan.
Implementasi
Braess Paradox -
Teori ini ternyata sudah disadari di beberapa negara dan kemudian membuat
konsep “kontra” . Salah satu yang paling fenomenal ialah Presiden
Korsel Lee Myung-bak. Berkat kesuksesannya membenahi Kota Seouwl semasa
menjadi wali kota, dengan prestasinya yang paling
masyhur ialah restorasi Sungai Cheonggyecheon di jantung Kota Seoul.
Pada akhir 1970, Sungai sepanjang 5,8 km yang mengalir
di pusat Kota Seoul ini dijadikan lokasi pembangunan jalan layang persis di atas
aliran sungai karena semakin padatnya populasi Seoul dan arus lalu lintas. Mudah
ditebak, seiring dengan perkembangan kota, masalah lingkungan yang kumuh dengan
lapak pedagang, polusi, dan kemacetan parah mendominasi area
Cheonggyecheon.
Ketika terpilih menjadi Wali Kota
Seoul pada 2002, Lee Myung-bak menjadikan proyek restorasi
Cheonggyecheon menjadi program unggulannya. Misinya satu, yaitu merobohkan
jalan layang 4 lajur sepanjang 6 km di atas badan sungai dan mengembalikan
lahan hijau di daerah aliran sungai.
Proyek bombastis itu bukan tanpa halangan. Ketika
diperkenalkan pertama kali, masyarakat memilih bersikap skeptis untuk dua hal:
peluang kemacetan akibat berkurangnya kapasitas jalan dan peluang kerugian
ekonomi terutama bagi pedagang. Namun, tangan dingin Lee Myung-bak
berbuah manis. Masalah kemacetan diatasi dengan kebijakan sistem transportasi
massal yang efisien. Pedagang difasilitasi dengan relokasi dan pendanaan.
Selain itu, tidak kurang dari 4.000 pertemuan dengan masyarakat, program “tembok
tanda tangan dukungan”, dan penyediaan informasi aktual yang
terintegrasi via situs web menjadi
kunci solusi dukungan masyarakat.
Dalam waktu 27 bulan, dari wilayah yang kusam, Cheonggyecheon
bertransformasi menjadi lahan hijau 28 hektare yang dinikmati 10 juta
warga Seoul. Efek samping positifnya juga tidak sedikit. Menurut data tahun
2010, berkat perobohan jalan layang, jumlah kendaraan yang beredar di Seoul
menurun 2,3% sehingga penggunaan kendaraan umum meningkat (bus 1,4%
dan kereta bawah tanah 4,3%).
Hal yang dilakukan
beberapa negara seperti, Istanbul di Turki, Teheran di Iran yang paham akan
konsep pemikiran ini sepertinya perlu untuk ditiru, mengurangi kapasitas jalan
yang justru mengurangi jumlah perjalanan yang ada.
Pandangan
Umum – Proyek
pembangunan 6 ruas jalan tol yang bernilai lebih dari Rp. 40 triliun ini
direncanakan berstruktur elevated dan menghubungkan daerah-daerah pusat
kegiatan diharapkan pemerintah dapat memberi manfaat dalam operasionalnya yang
direncanakan konstruksi selesai pada tahun 2020.
Alvinsyah, seorang pakar
transportasi Universitas Indonesia menilai, kebijakan penyediaan sarana
transportasi publik merupakan masalah prioritas. Artinya bila pemerintah
terlebih dahulu membangun ruas jalan tol, pengguna kendaraan pribadi-lah yang
diuntungkan.
Sedangkan menurut
Ofyar Z Tamin, seorang pakar transportasi Institut Teknologi Bandung (ITB)
pembangunan ruas tol dalam kota hanya menguntungkan operator jalan tol dan
industri mobil. Seharusnya pemerintah memikirkan solusi transportasi massal
yang baik dan menguntungkan bagi rakyatnya.
Berbagai pihak lain
pun sangat menyesalkan kebijakan pembangunan ruas tol dalam kota ini. Namun,
kebijakan transportasi yang bersifat multisektoral
dianggap menjadi inti dari semua permasalahan ini. Ketidak sesuaian visi
antar sektor yang menjadi penyebab munculnya produk kebijakan yang kurang
efektif dan efisien.
Reference :


- Follow Us on Twitter!
- "Join Us on Facebook!
- RSS
Contact